Puisi-Puisi Haqimah Rahmah Sari
MENUNGGU PANEN TIBA
Senyummu di balik rumpun talang
seindah renda bunga pada kebayamu
sapa tuan itu, memulai percakapan
(pipinya merah merekah)
dik, ini aku datang sebagai kekasih
penemanmu kala kau bertanam kopi
di ladang orang buangan
dik, ini aku datang sebagai kekasih
penemanmu kala kau duduk bermenung
di dangau orang ladang
menunggu tuan pulang membawa kopi
(seminggu sebelum panen tiba)
tuan, ini aku berjalan tak berbayang
tapi melangkah berselendangkan bayang
menujumu yang sedang meneruka lahan-lahan
agar tergerak hatimu meminang
di kampung orang buangan
tuan, ku kabarkan padamu
kopi telah ranum
cengkeh telah menguning
kapan aku kau pinang
(dua hari sebelum panen tiba)
dik, wajahmu teduh berparas ayu
kebayamu merah maron sederhana
berselendang merah pucat di kepalamu
tak patut kau berdiri di tengah ladang
menuai kopi yang kan ku panen
duduklah dengan tenang di dangau
membakar kayu tuk merebus kopi
sebentar lagi akan ku sonsong
duduk berdua menikmati tembang roman
berjalanlah,
(sehari sebelum panen riba)
nona, apa kabar gerangan
tak dapat ku pandang kebaya dan selendangmu
dikarena kopiku telah masak, mari ikut memanen
sekedar jadi pemetik setia
peneman tuan menyusur pohon
bersama puan elok rupa
bergegaslah, sinsingkan lengan
masuk ke dalam ladang
mari bersama memetik kopi
berdendang dan saling berbagi
dengan si nona dan si tuan
yang bertemu di ladang, kampung orang buangan
senja berhenti berkisah, panen juga usai berbagi
pulanglah keduanya
hendak berkunjung ke rumah si nona
dalam perjalanan sambil membawa kopi dalam sandang, berkata tuan pada nona
“dik, ku pinang kau”
usai pinangan terucap berderai air matanya
jatuh tersungkur ia di simpang jalan dekat dangau
kopi berserakan jatuh ke tanah
menangis nona karenanya
habis umurnya
tamat riwayatnya
tuan telah berpulang
tuan telah berpulang
usai menanti panen tiba bersama nona
melepas nyawa di dekatnya
tinggal nona menangisi pusara
bertuliskan nama tuannya di nisan kayu
ah! menunggu panen tiba
Saning Bakar, 19 Juni 2011
LAGU AIR
karena jiwa dulu kering tak berair, dulu mengalir di bibir hujan dan juga temali cuaca yang biasa kita perhatikan jejak dimana ia akan berhenti. kini, muasal sungai tempat umpan kita pasangkan tuk menjerat ikan buangan telah pupus.
dimana dapat kuseratkan lagi lagu air, dunia ini begitu membuka hari agar kita saling bertemu.
meski mendung itu basahi keranda. tak dapat ku teruka dimana waktu akan menyudahi jelaga raga meniadakan diri.
masih dapat kita pantulkan puntungan bara yang sering membakar raga, dunia membutakan seraut wajah putih, di dalam lukisan Anne Swizz tersimpan elegi sunyi, ragup jantung mereka tersidekap di patahan tangan yang ia lukiskan ke dalam buram tanah, kini, asal lagu pecah binasakan sesuap angan dan juga sekerat khayal, langit menolak lamaran hujan tuk berdamai di musim kemarau, kala lagu air tak dapat mencumbu tanah dan juga onggok batu apung, kemarau datang di musim hujan,”di perkampungan semut pasir”.
Saning Bakar, 12 Juni 2011
GERIMIS UNTUKMU
masih belum ku cairkan rinai sore itu
ketika matamu merah menirukan sepotong mawar
rindu
berbekas sayatan di tulang tuan, meringis
meratap menatap langit nan tak kunjung
memberi kabar, pulang
lagu era 60-an menitip pesan di ngilu angin
apalah daya, jalan pulang tertutup angan
sepotong mawar merah jambu
kau jatuhkan di terowongan yang mengalir di bawahnya air dan bebatuan
tempat kita menumbuhkan ilalang sambil bertatapan
memotret lagu air yang kemudian kita nyanyikan
di ngarai kita berdiri, membikin rumah pohon
menunggu gerimis jatuh di kelopak mataku
ku putarkan lagi rekaman rinai sore itu
padamu yang senantiasa merindui jatuhannya
ini rinai berpamit pada hati
mengubahnya menjadi selarik puisi
puisi gerimis untukmu
Saning Bakar, 17-19 juni 2011